Segala-galanya Ambyar |
Judul Buku: Segala-Galanya Ambyar
Judul Asli: Everything is F*ucked
Penulis: Mark Manson
Alih Bahasa: Adinto F. Susanto
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
Cetakan IV: Juni, 2020
Tebal: 346 hlm
Blurb:
Kita hidup dalam zaman yang menarik. Secara material, segalanya tampak sangat baik melebihi zaman-zaman sebelumnya. Meski begitu, entah mengapa segala-galanya tampak kacau balau dan benar-benar ambyar. Apa yang terjadi? Jika ada satu orang yang bisa membantu kita mengenali bencana yang terjadi saat ini dan ikut mmebantu memberesi, salah satunya adalah Mark Manson. Dalam Segala-Galanya Ambyar, Manson membentangkan segunung penelitian psikologis, juga sederet kebijakan dari beragam filsuf mulai dari Plato hingga Tom Waits, untuk berbicara perihal agama, politik, uang, hiburan, dan juga internet.
Dengan ciri khas gayanya berupa campuran antara penelitian dan humor, Manson menantang kita untuk lebih terbuka dengan diri sendiri, secara jujur menguak definisi tentang keyakinan, kebahagiaan, kemerdekaan- dan bahkan tentang pengharapan itu sendiri. Salah satu pemikiran besar modern ini telah memproduksi satu lagi buku yang akan memperkaya dunia ke depan.
***
"Tidak perlu berharap menjadi lebih baik. Cukup jadilah lebih baik.
Jadilah sesuatu yang lebih baik. Jadilah lebih murah hati, lebih tabah, lebih rendah hati, lebih disiplin." (hlm. 303)
Setelah membaca buku debut Mark Manson yang laris, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, aku pun penasaran dengan buku keduanya ini. Sama seperti judul buku pertamanya yang sangat menarik, judul buku keduanya yang bersampul biru cerah ini pun sangat menggoda untuk dilirik.
Buku Segala-Galanya Ambyar ini teridiri dari 2 bagian:
Bagian I: Harapan
Bab 1 Kebenaran yang Menggelisahkan
Bab 2 Kendali-Diri adalah Sebuah Ilusi
Bab 3 Hukum Newton tentang Emosi
Bab 4 Cara Mewujudkan Mimpi-Mimpi Anda
Bab 5 Harapan itu Ambyar
Bagian II: Segala-Galanya Ambyar
Bab 6 Formula Kemanusiaan
Bab 7 Rasa Sakit adalah Konstanta Universal
Bab 8 Ekonomi Perasaan
Bab 9 Agama Final
Dalam buku ini, Manson mengemukakan penelitian psikologis, kebijakan dari beragam filsuf, juga beragam kisah atau contoh kasus, antara lain: pandangan Plato dan
Aristoteles, Isaac Newton, Nietzsche, Immanuel Kant, kisah mitologi
Yunani tentang Kotak Pandora, dan lain-lain.
Pada bagian I: Harapan, Bab 2: Kendali Diri adalah Emosi, Manson mengulas tentang Otak yang kita miliki. Ibarat mobil, pikiran kita seperti Mobil Kesadaran yang memilik 2 Otak, yaitu: Otak Pemikir (Thinking Brain) dan Otak Perasa (Feeling Brain). Otak Pemikir melambangkan pikiran-pikiran sadar, sedangkan Otak Perasa melambangkan emosi, intuisi dan insting. Kedua otak memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Dalam sebagian besar contoh kasus yang diberikan sepanjang buku ini, Manson kerap kali menggambarkan bagaimana cara bekerja Otak Pemikir dan Otak Perasa.
Pada Bab 3: Hukum Newton Tentang Emosi, Manson menceritakan tentang Isaac Newton, tokoh sains yang mengemukan 3 Hukum Newton. Ingin mengetahui gaya yang dihasilkan oleh nilai-nilai dan berapa massa sebuah harapan, dan yang terpenting ia ingin mengerti jalinan hubungan antara elemen-elemen tersebut. Makan Manson pun memutuskan menulis Tiga Hukum Newton tentang Emosi. Apa saja itu?
Tiga Hukum Newton tentang Emosi:
1. Setiap Tindakan Mendatangkan Reaksi Emosional dari Pihak Lawan dan Kadarnya Setara
2. Harga Diri Kita Setara dengan Total Emosi Kita Hingga Hari ini
3. Identitas Anda Akan Tetap Menjadi Indentitas Anda Hingga Sebuah Pengalaman Baru Melawannya
"Dan inilah saatnya bagi kita untuk berhenti berlari dari kekacauan itu dan justru, memeluknya.
Ini adalah dunia kita yang ambyar. Dan kita adalah salah satu penghuninya yang juga ambyar." (hlm. 141)
Manson juga membahas berkaitan dengan agama dan iman. Ia menyebutkan ada 3 tipe agama yang pembagiannya didasarkan pada perbedaan nilai Tuhannya, yaitu:
1. Agama Spritual
2. Agama Ideologis
3. Agama Interpersonal
Ada banyak uraian Manson yang membuat kita jadi merenungkan tentang makna diri kita dan bagaimana menjalani kehidupan kita.
"Amor fati, bagi Nietzsche, berarti penerimaan hidup dan pengalaman kita dengan tanpa syarat; segenap pengalaman naik dan turun, yang bermakna dan yang tak berarti. Itu berati menicintai luka-luka, memeluk derita. Itu berarti menutup jarak yang memisahkan antara harapan dan kenyataan, bukan dengan cara mengejar lebih banyak lagi harapan, tapi dengan mengharapkan yang senyatanya." (hlm. 170)
Di bagian akhir, dalam bagian "Andai Saya Berani...," Manson mengungkapkan meskipun kita menghadapi banyak kesulitan hari ini dan esok, ia memberi kesempatan bagi dirinya untuk berani mengutarakan harapan....
"Barangkali kelak, kita cuma menyadari tapi juga pada akhirnya memeluk Kebenaran yang Menggelisahkan: bahwa kita membayangkan makna diri kita sendiri, kita menemukan tujuan diri kita sendiri, dan kita tetap dan seterusnya, bukan siapa-siapa." (hlm. 308).
Aku harus memahami uraian Manson ketika menyampaikan pandangan dan penelitian dari tokoh-tokoh filsuf, untunglah Manson membumbui dengan gaya humornya dan memberikan contoh-contoh kisah yang familiar dan sebagian sesuai dengan kondisi saat ini.
Jujur saja, buatku, membaca buku kedua Mark Manson, bukan hal mudah. Aku yang terbiasa melahap buku fiksi (novel), harus berjuang untuk menyelesaikannya. Sempat nyaris menyerah, berhenti di tengah jalan lalu setelah beberapa waktu, melanjutkan kembali. Dan, aku cukup bangga, ketika akhirnya berhasil menyelesaikannya. Sepertinya, aku memang harus terus mengekloprasi kembali genre bacaanku untuk semakin menambah pengalaman bacaku.
Komentar
Posting Komentar