Berkebun di Rumah Demi Menjaga Tubuh dan Pikiran Tetap Sehat di Masa Pandemi

Masa pandemi ini benar-benar mengubah aktivitas harianku. Kadang, membuatku sering mati gaya karena banyaknya waktu luang. Sekolahku (PAUD) menerapkan belajar dari rumah sehingga guru-guru pun bekerja dari rumah. 

Selama masa pandemi ini, banyak orang yang memanfaatkan waktu luang selama Work From Home dengan berkebun. Termasuk aku.

Awalnnya, aku hanya sekadar menebar  bunga  kertas  yang sudah kering, yang banyak ditanam  di sekitar sekolah. Setauku, bunga itu mudah tumbuh untuk membuat halaman lebih berwarna.  

Lalu, mulai ngobrol-ngobrol dengan orang rumah. Akhirnya kami sepakat untuk mengambil sedikit lahan di halaman untuk menanam. Tetep menyisakan tempat yang cukup untuk ponakan-ponakan bermain sepeda.

 Ohya,  banyak orang  menyebut Bapak itu bertangan dingin. Setiap menanam pohon, pasti akan tumbuh subur. Tapi kali ini, Bapak lebih banyak melihat dan hanya membantu seperlunya saja.

Mulailah menyiapkan lahan. Menambahkan tanah dan media tanam, membeli beberapa macam benih sayur, antara lain: bayam, kangkung, terong, pok cay, tomat.

Melibatkan 2 ponakan yang masih TK dan kelas 1 SD,  mulai dari mengisi polibag dengan media tanam, menaburkan benih-benih sayuran, memberi label nama pada tiap polybag (eh, ini sekaligus mengenalkan literasi  untuk mereka).

Hari-hari berikutnya, hampir tiap sore kujadwalkan untuk menyiram tanaman ini. Kadang-kadang dengan mengajak ponakan-ponakan, meskipun mereka lebih banyak tertarik karena bisa bermain-main dengan air. Sempat gak yakin juga, apakah benih-benih itu bisa tumbuh. Yah, barangkali Bapak tidak menurunkan gen berdarah dingin untukku. 

Tiap hari kulihat, apakah muncul tanda-tanda kehidupan atas benih-benih yang kusebar. Dan, tiap kali nongol warna hijau dari dalam tanah, wuih, senengnya minta ampun. Apalagi kalau semakin bertambah banyak daunnya. Benih-benih di polybag mulai tumbuh. Karena isinya banyak, mereka saling mendesak demi mencari sinar matahari. Nah, saatnya mereka dipindah ke tempat yang lebih luas.

Aku memilih memindahkan bibit-bibit sayur ke lahan yang sudah kita siapkan. Ini perjuangan juga, lho. Maklum karena masih awam dan nggak tahu tekniknya, yang penting berhati-hati saat mencabutnya, jangan sampai akarnya lepas. Ada teori yang kudapat, saat terbaik untuk memindahkan bibit tanaman ini sebaiknya pagi hari atau sore.


Memulai itu mudah, tapi mempertahankan itu jauh lebih sulit. Pepatah itu memang benar. Mempertahankan bibit itu tumbuh subur semuanya, tidaklah mudah. Ada saja yang gagal. Entah, mati setelah beberapa saat dipindahkan,  terguyur hujan deras saat masih imut-imut, hingga patahlah batangnya, atau daunnya rusak dimakan hama tanaman. 

Meskipun begitu, aku merasa cukup senang dengan beberapa hasilnya. Halaman depan yang sebelumnya tampak gersang, sekarang mulai berwarna warni. Selain itu, bisa panen sayur meskipun nggak banyak, sudah cukup membuatku puas. Saat panen, biasanya aku mengajak ponakan-ponakan. Mereka jadi mengenal nama sayuran dan melihat sendiri bentuk tanamannya.

Buatku sendiri, aktivitas berkebun ini dapat mengurangi kejenuhan saat WFH, menikmati momen-momen menyiram tanaman seperti merawat kehidupan, menikmati saat melihat tanaman tumbuh dan menghasilkan. Aktivitas ini menjaga tubuh dan pikiranku tetap sehat.

Aku percaya kebiasaan-kebiasaan kecil ini, pasti akan memberi pengaruh positif untuk anak-anak.  Ketika melihat kebiasaan di sekitar mereka, bagaimana merawat tanaman, apa yang bisa di dapat dari berkebun, itu akan terekam di ingatan mereka. 

Harapanku, dengan ikut terlibat dalam aktivitas berkebun di rumah, ponakan-ponakanku juga anak-anak lain kelak akan lebih bisa menjaga lingkungan dan sayang bumi.


#COVID19Diaries

#Gardening

#Berkebundirumah

 

 

Komentar