Review Buku: Perempuan yang Memesan Takdir

Perempuan yang Memesan Takdir


 Judul Buku: Perempuan yang Memesan Takdir

Penulis: Welda Saranevo

Penerbit: Buku Mojok

Tahun: 2021, cetakan kelima

Tebal: vi + 102 hlm


Blurb:

Album Prosa ini menyingkap sisi lain perempuan yang tengah menjalani takdirnya masing-masing. Para tokoh di dalamnya mempunyai sudut pandang dalam memaknai cinta, kenangan, keluarga, budaya, pernikahan bahkan hubungan manusia dengan Tuhan. Keenam belas kisah dalam album prosa ini tercipta dari perenungan yang sunyi -liris, liar, dan acak- sebagai monolog sekaligus dialog untuk menyelami hakikat kehidupan.


Jujur, aku awalnya tertarik membaca buku ini karena suka dengan judulnya. Menarik. Bikin penasaran.


Beberapa kisah yang jadi favoritku: Kopi Perempuan, Runduk.

 Kopi Perempuan bercerita tentang seorang lelaki yang selalu datang ke sebuah kedai kopi sendirian. Ia selalu penasaran dengan apa secangkir kopinya hari itu yang menggambarkan kejadian yang ditemuinya. Seperti hari itu, seorang perempuan juga datang ke kedai itu, duduk di hadapannya dan berbincang-bincang. Dari obrolan mereka, perempuan itu seolah menunjukkan pandangan-pandangannya tentang perempuan yang berlawanan dengan pandangan  umum atau stereotip yang biasa dijumpai.

 

"Aku adalah perempuan dan aku merokok. "

Perempuan -seorang mahasiswi sekaligus penjahit kaos yang di desainnya- memutuskan untuk merokok karena menemukan kenyamanan sehingga melahirkan banyak ide.

"Aku selalu menunggu, tentang apa secangkir kopiku hari ini, esok dan seterusnya" (hlm. 51).


Runduk bercerita tentang bagaimana seorang perempuan berdarah biru, dipanggil Diajeng, yang tidak ingin mengikuti tradisi keluarga baik dalam memperlakukan abdi maupun dalam berdandan, yang ditunjukkan dalam pemakaian konde. Dan ironisnya,salah satu  abdi dalemnya adalah seorang bule. Hatinya merasa sesak, ketika harus melihat abdi dalem berjalan dengan lututnya. Ia bahkan meminta agar bentuk konde yang dipakainya sama dengan abdinya. 

"Hormat menghormati akan terjadi ketika hati saling menunduk, itu artinya rendah hati. Kalau sekedar konde saja tidak menolong siapa pun, Mbak. Termasuk orang-orang yang gila hormat." hlm. 84.

Membaca cerita Runduk, mengingatkanku tentang tokoh emansipasi RA. Kartini.

Di bagian epilog, kita akan menemukan tulisan dari Emha Ainun Nadjib berjudul Biarkan Anak Kita Membuka Pintu Cakrawala. Untuk "Perempuan yang Memesan Takdir." Tulisan Emha merupakan pesan untuk orangtua agar membiarkan anak-anak muda membuka pintu cakrawala.

"Kita kawal mereka dengan kasih sayang dan doa. Kita lepas dan merdekakan mereka dari pendapat dan kemauan kita, kecuali sesekali mereka meminta pertimbangan dan diskusi agar waspada." (Hlm. 100).


Membaca buku ini, sebagai perempuan, merasa suara-suara perempuan terwakilkan di sini. Alu juga semakin memahami persoalan-persoalan sesama perempuan lain di luar sana.  

Dalam membaca cerita demi cerita, kadang aku butuh waktu untuk memahami kalimat-kalimat penulis karena banyak menggunakan metafora atau majas dengan bahasa sastra  tinggi buatku.


Komentar